Selasa, 13 Agustus 2013

Impelementasi Pendekatan Matematika Realistik dengan Metode Pq4r Berbantuan LKS dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 4 Singaraja

Impelementasi Pendekatan Matematika Realistik dengan Metode Pq4r Berbantuan LKS dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 4 Singaraja



Impelementasi Pendekatan Matematika Realistik dengan Metode  Pq4r  Berbantuan LKS  dalam Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 4 Singaraja.

Oleh I Gusti Ngurah Pujawan [Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan MIPA,  IKIP Negeri Singaraja].



ABSTRAK

            Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang pelaksanaannya dirancang dalam tiga siklus. Rancangan untuk tiap siklus terdiri atas empat tahapan, yakni : perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, oservasi/evaluasi, dan refleksi. Sebagai subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA SMP Negeri 4 Singaraja tahun pelajaran 2005/2006 yang terdiri atas 38 orang siswa.  Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk  (1) meningkatkan motivasi belajar siswa, (2) meningkatkan prestasi belajar siswa, (3) mengetahui mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap model pembelajaran yang diimpelementasikan.  Data tentang motivasi belajar siswa dalam pembelajaran dikumpulkan dengan melalui angket, data prestasi belajar siswa dikumpulkan melalui tes prestasi belajar, dan data tentang tanggapan siswa terhadap model pembelajaran yang diimplementasikan dikumpulkan dengan angket. Selanjutnya, data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, impelementasi pendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, prestasi belajar siswa, dan tanggapan siswa terhadap implementasi model pembelajaran tergolong positip.

Kata kunci : pendekatan matematik realistik, PQ4R, lembar kerja siswa

ABSTRACT


This research is a classroom action research designed to be carried out in three cycles. The design of each cycle consist of four stages, i.e : planning, implemention, observation/evaluation, and reflection. Subject of this research  is  students of class VIIIA of SMP Negeri 4 Singaraja in  2005/2006 academic year wich consisted of 38 students.  The aims of this research are (1) to improve students’ motivation, (2) to improve students’ achievement, and (3) to know and describe students’ response toward the implementation of teaching learning model.          Data of students’ motivation were collected through questionnaire, students’ achievement by using students’ achievement test, and data of students’ response toward the implementation of teaching learning model by using questionnaire. Thus, all of data were analyzed descriptively.  The results of this research show that, implementation of realistic mathematics approach with PQ4R methods using students’ work sheet improve the students’ motivation, students’ achievement, and there is a positive students’ response toward the implementation of teaching learning model.

Key words: realistic mathematics approach, PQ4R, students’ work sheet


1. Pendahuluan
Berbagai upaya terpadu telah dilakukan pemerintah dalam rangka  meningkatkan kualitas pendidikan, misalnya melalui penyempurnaan Kurikulum 1984 menjadi Kurikulum 1994 dan selanjutnya mulai tahun 2004 pemerintah mulai memberlakukan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), penataran guru tentang proses belajar mengajar, kegiatan MGMP, dan sosialisasi Model Pembelajaran yang inovatif dan produktif melalui kegiatan seminar dan pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Namun demikian, semua usaha tersebut belum membuahkan hasil yang optimal. Hal ini tercermin masih rendahnya Nilai Ebtanas Murni (NEM) atau Nilai Ujian Akhir Murni (NUAM) yang dicapai siswa. Rendahnya prestasi belajar siswa SMP, khususnya dalam mata pelajaran matematika dapat dilihat dari rata-rata NEM atau NUAM yang diperoleh siswa, yang sampai saat ini masih menjadi sorotan banyak pihak di masyarakat. Secara berturut-turut dalam lima tahun terakhir ini, yaitu sejak tahun ajaran 1999/2000 sampai dengan 2003/2004 untuk daerah kabupaten Buleleng rerata NEM/NUAM matematika yang diperoleh siswa SMP belum pernah melampui 6,0 (Depdiknas Kab. Buleleng, 2004), dan ini keadaan juga terjadi di SMP Negeri 4 Singaraja. Terakhir tahun ajaran 2003/2004, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Sri Aryani selaku guru matematika di SMP 4 bahwa, rerata perolehan NUAM matematika siswa SMP Negeri 4 Singaraja adalah 4,76. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa SMP Negeri 4 Singaraja dalam mata pelajaran matematika belum memenuhi harapan, walaupun rerata ini telah memenuhi standar kelulusan nasional untuk mata pelajaran matematika. Keadaan ini perlu mendapat perhatian dan kajian mendalam oleh kalangan praktisi pendidikan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab serta mencari solusinya.
Hasil pengamatan peneliti terhadap pembelajaran matematika di beberapa kelas di SMP Negeri 4 Singaraja, pada saat membimbing mahasiswa dalam melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) tahun 2004 menunjukkan bahwa, salah satu faktor yang diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar siswa adalah adanya anggapan yang kuang pas bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi ini, para guru mencoba memfokuskan pelajaran matematika pada upaya penuangan pengetahuan matematika sebanyak mungkin kepada siswa. Dengan demikian, metode transfer informasi yang sering dikenal dengan metode mengajar klasik (ceramah) dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam menuangkan pengetahuan kepada siswa.
Model ceramah sangat tidak sesuai dalam pembelajaran matematika, karena konsep-konsep yang terkandung dalam matematika merupakan konsep yang memiliki tingkat abstraksi tinggi. Dengan model ini, siswa cenderung siswa menghafal contoh-contoh yang diberikan guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan dalam memaknai konsep sehingga beresiko tinggi terjadinya miskonsepsi. Tidak bermakna dan terjadinya miskonsepsi ini akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep lebih lanjut. Bagi siswa, belajar matematika tampaknya hanya untuk menghadapi ulangan atau ujian dan terlepas dari masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga pelajaran matematika dirasakan tidak bermanfaat, tidak menarik, dan membosankan. Kondisi seperti ini, diyakini tidak akan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa, dan akhirnya bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa.
Permasalahan di atas, disikapi melalui suatu tindakan berupa implementasi pendekatan Matematika Realistik dengan metode Preview-Question-Read-Reflect-Recite-Review (PQ4R) berbantuan Lembar Kerja Siswa (LKS). Dipilihnya tindakan ini sebagai alternatif pemecahan masalah, yang dilandasi oleh beberapa agumentasi. Pendekatan matematika realistik diadopsi dari kata Realistic Mathematics Education (RME) yang merupakan teori pembelajaran dalam pembelajaran matematika. RME pertama kali diperkenalkan di Belanda pada tahun 1970 oleh “The Freudenthal Institute in the Netherlands” (Fauzan : 2001). Konsep ini menyatakan bahwa aktivitas matematika harus dikaitkan dengan realita, dan matematika merupakan aktivitas manusia (human activities). Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini ditegaskan oleh Gravemeijer (1994), yaitu “Matematika sebagai aktivitas manusia”. Oleh karena itu, siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide-ide (reinvention) dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya berhubungan dengan dunia nyata saja, tetapi juga menekankan pada masalah nyata yang dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi, penekanannya adalah membuat suatu masalah itu menjadi nyata dalam pikiran siswa. Usaha untuk membangun kembali konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dapat dilakukan dengan penjelajahan berbagai situasi nyata (realistik) dan permasalahan-permasalahan dunia nyata (de Lange dalam Suradi, 2001). Dengan demikian, pada pendekatan realistik, dunia nyata digunakan sebagai titik pangkal untuk mengembangkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika serta mengaplikasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika tersebut ke dunia nyata atau ke bidang lain.
Treffer (dalam Ipung Yuwono, 2001), merumuskan dua tipe pematematikaan, yaitu pematematikaan horizontal dan vertikal. Matematisasi horizontal berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersama intuisi mereka sebagai alat untuk menyelesaikan masalah-masalah dari dunia nyata. Sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses organisasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh dalam simbol-simbol matematika yang lebih abstrak. Singkatnya Freudenthal (dalam Ipung Yuwono, 2001) mengatakan “Pematematikaan horisontal berkaitan dengan perubahan dunia nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika, sedangkan pematematikaan vertikal melibatkan pengubahan dari simbol-simbol ke simbol matematika lainnya yang lebih abstrak”. Meskipun perbedaan antara dua tipe ini mencolok, tetapi tidak berarti bahwa dua tipe tersebut terpisah sama sekali mengingat pendekatan realistik memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan horizontal dan pematematikaan vertikal.
Metode PQ4R dikembangkan oleh Thomas dan Robhinson (1972) yamg merupakan penyempurnaan dari metode SQ3R Robhinson (1961). Sesuai dengan namanya metode PQ4R ini terdiri dari enam langkah, yaitu Preview, Question, Read, Reflect, Recite dan Review (dalam Nur, 1999). Pertama, pada tahap Preview siswa diharapkan untuk melakukan survey terhadap materi pelajaran untuk mendapatkan ide tentang topik dan sub topik utama serta pengorganisasian umum. Siswa melakukan identifikasi terhadap materi yang akan dipelajari. Pada langkah ini, siswa membuat ramalan ilmiah tentang materi yang akan dibaca dan dipelajari, selanjutnya berdasarkan judul (pokok bahasan) dan subjudul (subpokok bahasan). Kedua, tahap Question siswa diminta untuk membuat dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang materi itu saat mereka mempelajarinya, khususnya pada dirinya sendiri, dengan kata-kata yang sesuai, seperti : apa, mengapa, bagaimana, siapa dan dimana. Ketiga, pada tahap Read siswa diminta untuk membaca materi, kemudian membuat catatan-catatan kecil (note taking), tidak membuat catatan-catatan yang panjang. Selanjutnya siswa dapat mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sebelumnya selama membaca materi tersebut. Keempat, tahap Reflect sesungguhnya merupakan refleksi terhadap materi pelajaran. Siswa mencoba untuk memahami materi yang dibaca atau dipelajari dengan cara: (1) menghubungkan materi yang dibaca dengan materi yang diketahui sebelumnya, (2) mengaitkan sub-sub topik dengan konsep-konsep utama, (3) memecahkan kontradiksi dalam materi yang disajikan, dan (4) menggunakan materi itu untuk memecahkan masalah-masalah yang disimulasikan dan dianjurkan dalam materi pelajaran. Kelima, tahap Recite merupakan latihan untuk mengingat kembali materi pelajaran, dengan memberi penekanan pada butir-butir penting (dapat menggunakan judul kata-kata yang ditonjolkan serta catatan-catatan tentang konsep-konsep utama) yang dapat dilakukan dengan mendengarkan sendiri, menanyakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Keenam, pada tahap Review siswa mereviu materi yang dipelajari, dan memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan mungkin perlu membaca ulang materi yang dipelajari apabila siswa merasa kurang yakin dengan jawabannya.
Apabila langkah-langkah pada metode PQ4R ini dikaitkan dengan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik, maka dapat disimpulkan bahwa melalui langkah preview dan question siswa akan meninjau dan menghubungkan antara pengalaman dan pengetahuan yang mereka telah miliki dengan topik yang mereka sedang pelajari. Pada langkah read dan reflect siswa akan berusaha untuk mempelajari dan memahami topik yang dibahas sehingga mereka memperoleh pengetahuan baru dan memformulasikan pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Selanjutnya pada langkah recite, pengetahuan yang telah terbentuk perlu dimantapkan kembali melalui suatu latihan sehingga pengetahuan tersebut menjadi permanen dalam ingatan siswa. Disadari bahwa setiap siswa  memiliki perbedaan dan keterbatasan, baik pengalaman, pengetahuan awal, dan kecepatan belajar sehingga hal ini berdampak pada kecepatan pemahaman dan penguasaan materi ajar. Sehubungan dengan itu, setiap siswa diberi kesempatan untuk mereviu topik yang telah mereka pelajari (tahap review). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan metode PQ4R sangat mendukung implementasi pendekatan matematika realistik dalam pembelajaran matematika.
Proses pembelajaran konvensional, umumnya lebih menempatkan guru pada perannya sebagai pusat informasi dan ilmu pengetahuan, dan bahkan kadang menjadi satu-satunya sumber, sekaligus sebagai satu-satunya validator. (Sugiarta, 2001). Berbagai dampak negatif dirasakan dengan keadaan ini, seperti kelas pasif, interaksi satu arah, serta kurangnya perhatian guru terhadap potensi dan gagasan siswa sebagai sumber daya. Namun kini, pengembangan pendekatan matematika realistik melalui berbagai metode (salah satunya PQ4R) merupakan salah satu pendekatan konstruktivis meghendaki peran guru sebagai fasilitator atau mediator yang kreatif dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini, bukan saja karena globalisasi informasi ataupun pengelolaan pembelajaran yang memerlukan bantuan berupa bimbingan, melainkan pebelajar dewasa yang mempunyai ide-ide segar ataupun konsepsi yang dapat berkembang. Disadari bahwa tidak semua guru mempunyai waktu yang cukup untuk memberi bantuan maksimal mendukung proses belajar siswa. Banyak faktor penyebabnya, salah satu di antaranya kurangnya sumber belajar bermutu yang  sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan pemikiran model konstruktivis sosial, maka lembar kerja siswa (LKS) merupakan salah satu sumber belajar yang sesuai, sebab LKS dapat mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran. LKS adalah suatu lembaran yang berisikan sejumlah informasi serta instruksi yang ditujukan untuk mengarahkan siswa bertingkah laku sebagaimana diharapkan pembuatnya, dalam hal ini pengajar (Suwarti, 1996). LKS yang baik adalah LKS yang mampu menjadikan pebelajar mempunyai keinginan untuk beraktivitas sesuai dengan instruksi. Pada dasarnya, LKS sangat tepat digunakan untuk tujuan menjadikan pebelajar yang lambat laun dapat bekerja secara mandiri. Disamping itu, dengan LKS siswa akan mampu mengingat suatu konsep lebih lama bahkan permanen, karena konsep tersebut diperolehnya melalui keterlibatan mental yang tinggi. Sarna (1999) mengemukakan bahwa, penggunaan LKS dapat mengoptimalkan sumber daya siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Beberpa keuntungan spesifik dari pemanfaatan LKS dalam pemebelajaran adalah (1) dapat menumbuhkan kemandirian siswa, (2) dapat menumbuhkan aktivitas, kreativitas, serta motivasi belajar siswa, (3)  menghemat waktu, dan (4) memberi kesempatan yang lebih banyak bagi guru untuk melakukan bimbingan individu ataupun kelompok. Dengan demikian, diyakini bahwa penggunaan LKS sangat mendukung implementasi pendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R dalam rangka meningkatkan motivasi dan prestasi belajar matematika siswa.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah (1) meningkatkan motivasi belajar siswa, (2) meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, dan (3) mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap impelementasi Pendekatan Matematika Realistik dengan Metode PQ4R berbantuan LKS.
Manfaat praktis yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini adalah  (1) siswa yang terlibat dalam penelitian akan memperoleh pengalaman langsung dalam belajar matematika melalui impelementasi pendekatan Matematika Realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS, (2) temuan-temuan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh guru dalam merancang dan melaksanakan program pembelajaran, dan (3) memberikan pengalaman langsung kepada guru dalam mengimplementasikan pendekatan Matematika Realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS pendekatan Matematika Realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS sebagai upaya meningkatkan kualitas pemebelajaran dan hasil belajar matematika siswa, dan melalui pengalaman ini diharapkan mereka lebih kreatif dalam memilih dan mengembangkan strategi pembelajaran yang inovatif dan produktif.

 

2. Metode Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA SMP Negeri 4 Singaraja Tahun Ajaran 2005/2006 yang terdiri atas 38 orang siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang pelaksanaannya dirancang dalam tiga siklus. Rancangan untuk tiap siklus terdiri atas empat tahapan, yakni : perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi. (Kemmis and Taggart, 1988).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah  (1) data mengenai motivasi belajar siswa dalam proses pembelajaran dikumpulkan melalui angket. Angket ini terdiri atas 12 item, yang penskorannya menggunakan skala Likert, yakni masing-masing item mempunyai skor maksimal 5 dan skor minimal 1, (2) data prestasi belajar siswa dikumpulkan melalui tes prestasi belajar, dan (3) data tentang tanggapan siswa terhadap terhadap strategi pembelajaran yang diimplementasikan dikumpulkan melalui angket yang memuat 10 item dengan penskoran juga menggunakan skala Likert.
Data penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Secara keseluruhan penelitian ini dikatakan berhasil jika motivasi dan prestasi belajar siswa meningkat dari siklus ke siklus, dan pada akhir penelitian ini motivasi belajar siswa minimal tergolong cukup, rata-rata kelas, daya serap (DS), dan ketuntasan belajar (KB) berturut-turut minimal 6,5, 65 %, dan  85 %, serta tanggapan siswa terhadap strategi pembelajaran yang diimplementasikan minimal tergolong cukup positip.


3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
Motivasi belajar siswa dalam penelitian ini diukur melalui teknik yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari hasil analisis data, diperoleh bahwa rata-rata skor motivasi belajar siswa pada siklus I sebesar 38,87 yang tergolong cukup. Selanjutnya, diperoleh rata-rata skor motivasi belajar siswa pada siklus II dan siklus III berturut-turut sebesar 45,71 dan 44,66 yang keduanya tergolong tinggi.
Dari hasil analisis data prestasi belajar siswa diperoleh bahwa, skor rata-rata kelas sebesar 6,12 dengan daya serap 61,2 % dan ketuntasan belajar 42,11 % pada siklus I, skor rata-rata kelas sebesar 6,84 dengan daya serap 68,4 % dan ketuntasan belajar 68,42 % pada siklus II, dan pada siklus III diperoleh skor rata-rata kelas sebesar 7,12 dengan daya serap  71,2 % dan ketuntasan belajar 86,84 %.
Berdasarkan hasil analisis data tanggapan siswa diperoleh rata-rata tanggapan siswa secara klasikal sebesar 38,66. Dari kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, ternyata tanggapan siswa terhadap imodel pembelajaran yang diimplementasikan  tergolong positip.

3.2  Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa, tindakan yang dilakukan pada siklus I cukup berhasil membangkitkan motivasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor motivasi belajar siswa, yakni sebesar 38,87 yang tergolong cukup. Kualitas motivasi belajar siswa pada siklus I ini telah memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Dari analisis data prestasi belajar siswa pada siklus I diketahui bahwa skor rata-rata kelas () sebesar 6,12, DS = 61,2 % dan KB = 42,11 %., dan hasil ini belum memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan siklus I ini, tim peneliti melakukan diskusi untuk mencermati keunggulan-keunggulan yang perlu dipertahankan dan dikembangkan serta mengkaji kendala-kendala yang menjadi penyebab kurang berhasilnya pembelajaran yang dilaksanakan. Dari hasil diskusi ini dapat disimpulkan bahwa kurang berhasilnya pembelajaran yang dilakukan pada siklus I adalah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pada siklus I ini siswa belum terbiasa dan belum mempunyai pengalaman dengan pembelajaran berpendekatan matematika realistik dengan  metode PQ4R berbantuan LKS, sehingga pada awal-awal pembelajaran situasi kelas agak ribut. Kedua, masih rendahnya motivasi siswa untuk belajar, hal ini terlihat dari masih banyak siswa yang malas mengerjakan tugas-tugas yang tertuang dalam LKS. Hal ini kemungkinan dikarenakan siswa kurang memperhatikan petunjuk pengerjaan LKS, bahwa pada setiap akhir pengerjaan LKS akan diadakan tes. Akibatnya, banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal evaluasi yang terdapat dalam LKS. Ketiga, pada saat pelaksanaan tindakan siklus I, terdapat beberapa orang siswa yang sudah selesai mengerjakan soal-soal latihan mengganggu temannya yang sedang bekerja sehingga mengganggu proses belajar. Keempat, dalam diskusi dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, hanya beberapa siswa yang mau mengemukakan pendapat atau menjawab. Hal ini disebabkan oleh kurang beraninya atau kurangnya rasa percaya diri siswa. Kelima, dalam presentasi hasil kerja di depan kelas lebih banyak didominasi oleh siswa yang berkemapuan baik.
Berdasarkan hasil refleksi tindakan yang dilakukan pada siklus I, maka dilakukan tindakan pada siklus II. Tindakan pada siklus II merupakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap kendala-kendala yang muncul pada siklus  Pertama, pada siklus I siswa belum terbiasa mengikuti pembelajaran matematika berpendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS, karenanya guru memberikan arahan kembali kepada siswa bagaimana seharusnya mereka dalam mengikuti pembelajaran. Kedua, dengan berbagai strategi guru berusaha membangkitkan kesadaran dan motivasi siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini, guru memberikan perhatian lebih kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang ada pada LKS. Ketiga, untuk menangani siswa yang mengganggu temannya dalam mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat dalam LKS dan umumnya siswa ini adalah siswa berkemampuan baik, maka siswa yang telah selesai mengerjakan soal ditugaskan untuk membimbing temannya yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan interaksi antar siswa. Keempat, mendorong siswa yang berkemampuan kurang untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi, dengan memberikan kesempatan bertanya dan menjawab terlebih dahulu, misalnya dengan menunjuk siswa sehingga interaksi tidak hanya terbatas pada siswa yang berkemampuan tinggi. Kelima, dalam presentasi hasil kerja, guru mengarahkan agar presentasi dilakukan secara bergilir.
Dalam pembelajaran pada siklus II siswa sudah mulai terbiasa dalam mengikuti strategi pembelajaran yang diterapkan. Ini terlihat dari keantusiasan siswa yang setelah diberikan LKS, siswa langsung mengerjakan tugas-tugas pada LKS sesuai dengan petunjuk tanpa menunggu perintah. Hal nyata yang dapat dilihat sebagai hasil pelaksanaan tindakan siklus II adalah terjadinya peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa. Dari hasil analisis data terlihat bahwa terdapat peningkatan motivasi belajar siswa baik secara kuantitaif maupun kualitatif. Skor motivasi belajar siswa meningkat dari 38,87 pada siklus I menjadi 45,71 pada siklus II, yang secara kualitatif meningkat dari katagori cukup menjadi katagori tinggi. Peningkatan juga terjadi pada prestasi belajar siswa, yaitu skor rata-rata kelas () = 6,12 ; DS = 61,2 % dan KB = 42,11 % pada siklus I menjadi = 6,84 ; DS = 68,4 % ; dan KB = 68,42 %  pada  siklus II. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar siswa, rata-rata kelas, DS pada siklus II sudah memenuhi kriteria keberhasilan, namun KB siswa belum memenuhi kriteria keberhasilan, karena KB masih lebih kecil dari 85 %.
Dari hasil refleksi tindakan siklus II, ditemukan beberapa kekurangan, di antaranya  (1) motivasi siswa untuk mengrjakan tugas-tugas relatif masih rendah, (2) siswa yang berkemampuan lebih masih mendominasi jalannya diskusi, sehingga interaksi mengarah dari siswa yang berkemampuan lebih ke siswa yang berkemapuan kurang, (3) masih banyak siswa yang kurang percaya dengan penjelasan temannya dan mereka lebih percaya dengan penjelasan yang dberikan guru. Untuk mengkaji kekurangan-kekurangan yang dialami pada siklus II, maka tim peneliti merefleksi kembali tindakan yang telah dilakukan dalam rangka pelaksanaan tindakan siklus III.
Pada siklus III, guru kembali menekankan pentingnya interaksi antar siswa dan mereka harus saling percaya karena dengan saling percaya inilah akan tumbuh rasa percaya diri. Disamping itu, guru harus dapat mengontrol diri sehingga betul-betul memposisikan diri sebagai fasilitator dan memberi bantuan seperlunya..
Berdasarkan hasil analisis data siklus III diketahui bahwa rata-rata skor motivasi belajar siswa sebesar 44,66 yang secara kualitatif tergolong tinggi. Walaupun secara kuantitatif motivasi belajar siswa tidak meningkat dari siklus I ke siklus II, namun secara kualitatif motivasi belajar siswa masih berada pada katagori yang sama, yakni tinggi. Motivasi belajar siswa pada siklus III sudah memenuhi kriteria keberhasilan.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus II ke siklus III, yakni rata-rata kelas () = 6,84 ;  DS = 68,4 % ; dan KB = 68,42 % pada siklus II menjadi  () = 7,12 ;  DS = 71,2 % dan KB = 86,84 %. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa, skor rata-rata kelas, DS dan KB siswa pada siklus III sudah memenuhi kriteria keberhasilan.
Hasil analisis data tentang tanggapan sisiwa menunjukkan bahwa tanggapan siswa terhadap penerapan model pembelajaran ini tergolong positip dengan skor rata-rata sebesar 38,66. Tanggapan positip siswa ini merupakan modal bagi guru dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil di atas, secara keseluruhan penelitian ini dapat dikatakan berhasil karena pada akhir penelitian semua kriteria keberhasilan yang ditetapkan telah terpenuhi. Diyakini bahwa keberhasilan ini merupakan dampak positip dari implementasi pendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS, mengingat bahwa pendekatan matematika realistik ini sangat cocok dipasangkan dengan metode PQ4R dalam pembelajaran matematika lerlebih lagi menggunakan (Suradi, 2001; Nur, 1999; dan Suwarti 1996). Namun demikian, dibalik keberhasilan masih terdapat beberapa kekurangan dalam penerapan strategi pembelajaran ini, diantaranya : (a) masih belum optimalnya interaksi antar siswa  dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (b) masih sulitnya menumbuhkan rasa percaya diri siswa, (c) terbatasnya sarana belajar yang dimiliki siswa, dan hal ini tidak terlepas dari tingkat sosial ekonomi siswa.

4. Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa (1) implementasi pembelajaran matematika berpendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, yakni  dari 38,87 (cukup) pada siklus I menjadi 45,71 (tinggi) pada siklus II dan menjadi 44,66 (tinggi) pada siklus III. Secara kuantitatif motivasi belajar siswa memang tidak meningkat dari siklus II ke siklus III, namun secara kuantitatif masih dalam katagori yang sama, yakni katagori tinggi,  (2) implementasi pembelajaran matematika berpendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VIII A2 SMP  Negeri 4 Singaraja. Terjadi peningkatan skor rata-rata kelas dari 6,12 pada siklus I menjadi 6,84 pada siklus II, dan menjadi 7,12 pada siklus III. Daya Serap siswa juga meningkat dari siklus ke siklus, yaitu dari 61,2 % pada siklus I menjadi 68,4 % pada siklus II dan menjadi 71,2 % pada siklus III. Hal yang sama juga terjadi pada ketuntasan belajar siswa, yakni : dari 42,11 % pada siklus I meningkat menjadi 68,42 % pada siklus II dan menjadi 86,84 % pada siklus III,  (3)  tanggapan siswa terhadap implementasi pembelajaran matematika berpendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS tergolong positip.
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran,  yakni sebagai berikut .  (1)  Diharapkan kepada guru matematika kelas VIII A2 SMP Negeri 4 Singaraja untuk menerapkan pendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS, minimal sesuai dengan rancangan tindakan yang disetting  dalam penelitian ini. (2)  Diharapkan juga kepada para guru matematika lainya untuk menerapkan dan mengembangkan pembelajaran matematika berpendekatan matematika realistik dengan metode PQ4R berbantuan LKS dalam rangka memperbaiki kualitas pembelajaran dan hasil belajar matematika siswa.  (3)  Disarankan kepada peneliti lain yang berminat, untuk meneliti lebih lanjut mengenai implementasi model pembelajaran ini dengan tempat dan subjek yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA



Sumber: http://www.infodiknas.com

Kumpulan Buku BSE Kelas XII SMK Kurikulum 2013

Kumpulan Buku BSE Kelas XII SMK Kurikulum 2013


Berikut ini link download Buku BSE Kelas XII SMK Kurikulum 2013:







Kumpulan Buku BSE Kelas XI SMK Kurikulum 2013

Kumpulan Buku BSE Kelas XI SMK Kurikulum 2013


Berikut ini link download Buku BSE Kelas XI SMK:









Kumpulan Buku BSE Kelas XII SMA Kurikulum 2013

Kumpulan Buku BSE Kelas XII SMA Kurikulum 2013


Berikut ini link download Buku BSE Kelas XII SMA Kurikulum 2013:


Agama Budha     >>Download<<

Agama Islam     >>Download<<

Agama Katolik     >>Download<<

Agama Konghucu     >>Download<<

Agama Kristen     >>Download<<

Antropologi     >>Download<<

Bahasa Indonesia     >>Download<<

Bahasa Inggris     >>Download<<

Bahasa Jepang     >>Download<<

Biologi     >>Download<<

Ekonomi     >>Download<<

Fisika     >>Download<<

Geografi     >>Download<<

Prakarya     >>Download<<

Kimia     >>Download<<

Matematika     >>Download<<

Penjaskes     >>Download<<

PKn     >>Download<<

Sejarah     >>Download<<

Sosiologi     >>Download<<

Mulok TIK     >>Download<<



Semoga bermanfaat...

Senin, 12 Agustus 2013

Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia Melalui Penggunaan Alat Peraga Praktik Miniatur Tandon Air terhadap Hasil Belajar Siswa di Kelas X SMA NEGERI 3 Kota Manna

Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia Melalui Penggunaan Alat Peraga Praktik Miniatur Tandon Air terhadap Hasil Belajar Siswa di Kelas X SMA NEGERI 3 Kota Manna




Oleh Rahmad Ramelan Setia Budi (Guru SMA Negeri 3 Kota Manna dan kini sedang menempuh  Jenjang S-2 Pendidikan Matematika di Pascasarjana Universitas Sriwijaya).


Abstrak

Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah: (1) Untuk mengetahui perbedaan efektivitas pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia pada pembelajaran logika matematika melalui alat peraga praktik miniatur tandon air dengan alat peraga charta rangkaian listrik seri dan parallel, (2) Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia pada pembelajaran logika matematika melalui alat peraga praktik miniatur tandon air terhadap peningkatan mutu pembelajaran matematika yang ditengarai dengan adanya perbedaan hasil belajar siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen.Ukuran keberhasilan penelitian ini adalah adanya perbedaan hasil belajar antara siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen pada pelajaran matematika  yang dibuktikan dengan meningkatnya hasil belajar secara individual dan klasikal serta nilai rata-rata kelas. Hasil belajar matematika siswa di kelas kontrol menunjukkan: ketuntasan belajar individual 20 orang, ketuntasan belajar klasikal 62,5 % dan rata-rata kelas 64,8 sedangkan hasil belajar matematika di kelas eksperimen menunjukkan: ketuntasan belajar individual 28 orang, ketuntasan belajar klasikal 87,5% dan rata-rata kelas 75,3. Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia melalui penggunaan alat peraga praktik miniatur tandon air terbukti lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika bila dibandingkan dengan alat peraga charta rangkaian listrik seri dan paralel.

Kata Kunci:       Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan Alat Peraga Peraga Praktik Miniatur Tandon Air.
*Penulis adalah Guru SMA Negeri 3 Kota Manna dan kini sedang menempuh
Jenjang S-2 Pendidikan Matematika di Pascasarjana Universitas Sriwijaya.


PENDAHULUAN

Profesi guru adalah profesi yang penuh dengan aktivitas ilmiah karenanya guru dituntut dapat mewujudkan suasana belajar yang demokratif, kreatif, dan inovatif dalam pembelajaran di sekolah, yaitu suasana belajar yang melibatkan siswa secara aktif baik sebagai subjek maupun sebagai objek belajar sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah sesuai dengan bakat dan potensi yang ada pada dirinya serta secara langsung dan tidak langsung guru dapat meningkatkan mutu pembelajaran.  Namun faktanya, masih banyak guru belum sepenuhnya dapat merealisasikan suasana belajar yang demokratis, kreatif dan inovatif.  Penyebab utamanya adalah guru belum mampu untuk menciptakan alat peraga dan teknik mengajar yang kurang variatif sehingga pembelajaran menjadi monoton dan cenderung membosankan.  Dominasi guru yang terlalu kuat juga membuat kreativitas siswa kurang berkembang selain materi pelajaran matematika yang terkenal abstrak.  Apabila hal ini dibiarkan secara terus-menerus akan menyebabkan mutu pembelajaran menurun sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tidak akan pernah terwujud secara optimal dan tentu akan berakibat pada hasil belajar dan tingkat kecanggihan berfikir siswa.  Hasil belajar siswa juga masih tergolong rendah.  Berdasarkan hal tersebut maka perlu dirancang suatu media pembelajaran  yang dapat mengkonkritkan materi pelajaran matematika yang tergolong abstrak menjadi nyata.  Kehadiran dunia nyata di dalam kelas sangat membantu siswa dalam mempelajari dan memahami matematika karena penyajian pembelajaran menjadi kontekstual, lebih menarik perhatian dan minat siswa belajar matematika.
Berdasarkan permasalahan di atas maka muncullah pemikiran untuk menekankan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih melatih kemampuan berfikir, bernalar dan menggali segenap potensi yang ada pada dirinya sehingga siswa mampu menempatkan dirinya sebagai subjek aktif dalam pembelajaran aktif, demokratif, kreatif dan inovatif sehingga dapat terwujud pembelajaran yang efektif dan berdampak pada meningkatnya hasil belajar siswa.  Pembelajaran yang dimaksud adalah penerapan pendidikan matematika realistik Indonesia pada pembelajaran logika matematika melalui alat peraga praktik miniatur tandon air yang dirancang oleh guru sebagai peneliti karena memang belum ditemukan literatur yang membahas tentang pembelajaran yang merupakan pengembangan pembelajaran itu yang dapat dijadikan acuan.  Metode ini diterapkan pada materi pokok pelajaran logika matematika yang sering menjadi permasalahan bagi siswa kelas X di SMA Negeri 3 Kota Manna.  Adapun bagian yang dibahas adalah menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk pada materi pokok logika matematika.
Rumusan Masalah
Pada pembelajaran logika matematika di kelas X SMA Negeri 3 Kota Manna terdapat beberapa kompetensi dasar yang tergolong abstrak dan terkadang amat sukar untuk dipahami siswa.  Agar siswa dapat dengan mudah mempelajari dan memahami kompetensi dasar  dan indikator-indikator yang telah ditetapkan itu, perlu dibantu dengan alat peraga praktik miniatur tandon air yang merupakan penerapan pendidikan matematika realistik Indonesia.
Tujuan Penelitian
  1. Untuk mengetahui perbedaan efektivitas pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan pendidikan matematika realistik Indonesia pada pembelajaran logika matematika melalui alat peraga praktik miniatur tandon air dengan alat peraga charta rangkaian listrik seri dan paralel.
  2. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan penerapan pendidikan matematika realistik Indonesia pada pembelajaran logika matematika melalui alat peraga praktik miniatur tandon air terhadap peningkatan mutu pembelajaran matematika yang ditengarai dengan adanya perbedaan hasil belajar siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan hasil belajar  antara siswa yang diajar dengan penerapan pendidikan matematika realistik Indonesia pada pembelajaran logika matematika melalui alat peraga praktik miniatur tandon air dengan metode charta rangkaian listrik seri dan paralel pada siswa di kelas X-3 sebagai kelas eksperimen dengan siswa di kelas X-4 sebagai kelas kontrol.
Manfaat Penelitian
1          Bagi guru
  1. Memberikan kemudahan dalam menyajikan pembelajaran dan memberikan bimbingan belajar kepada siswa baik secara individual maupun secara berkelompok ketika belajar matematika sehingga dapat meminimalkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
  2. Mengembangkan kreativitas, inovasi dan cakrawala berfikir yang luas dalam menerapkan suatu teknik atau model pembelajaran yang lebih menarik peserta didik dalam belajar matematika, lebih variatif, bermakna dan menyenangkan sehingga mutu pembelajaran meningkat.
2          Bagi siswa
  1. Membantu siswa dalam belajar matematika karena materi pelajaran  yang disajikan guru lebih menarik, kontekstual, dan mudah dipelajari dan dipahami sehingga hasil belajar siswa meningkat.
  2. Membantu siswa lebih termotivasi dan responsif dalam mendalami materi pelajaran matematika.
Definisi Istilah
Untuk menghindari adanya kesalahan persepsi terhadap judul penelitian ini, maka peneliti perlu menjelaskan beberapa batasan istilah seperti berikut.
  1. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berpangkal dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan proses matematisasi (process of doing mathematics), berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri yang pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan permasalahan baik secara individu maupun berkelompok.  Pada pendekatan PMRI guru berperan sebagai fasilitator atau motivator sementara siswa berpikir, mengkomunikasikan berbagai alasan, melatih nuansa demokrasi  dengan menghargai pendapat orang lain (Zulkardi 2003:3).
  2. Miniatur merupakan sebuah kata yang digunakan karena pada dasarnya cara kerja serta proses yang terjadi dalam alat peraga praktik miniatur tandon ini sama dengan tandon biasa, namun segalanya dibuat dalam skala yang lebih kecil dengan tujuan agar lebih efisien penggunaan dan penerapannya di dalam kelas.
  3. Penerapan pendidikan matematika realistik Indonesia melalui alat peraga praktik miniatur tandon air dalam penelitian ini merupakan suatu strategi pembelajaran yang mengekspresikan langkah-langkah aktivitas belajar berfikir dan bernalar secara matematis dan kontekstual sehingga siswa mempunyai potensi melakukan penemuan kembali terhadap materi pelajaran yang telah dipelajarinya walaupun masih di bawah bimbingan guru, mengingat di kelas tidak banyak siswa yang mampu melakukannya sendiri secara mutlak.
Metode Pembelajaran
Metode yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah metode pembelajaran dengan menerapkan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).  Metode PMRI dipilih dalam pembelajaran karena: (1) mengunakan masalah kontekstual sebagai penerapan dan titik tolak darimana matematika yang diinginkan bisa muncul); (2) menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal, perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi daripada hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung; (3) menggunakan kontribusi siswa, kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar;(4) interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, kerjasama dan evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jantung untuk mencapai matematika formal; (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, pendekatan holistik yang menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai secara terpisah namun keterkaitan dan keintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah yang berupa jawaban non formal (De Lange, 1987, 1996: Treffers, 1991: Gravemeijer, 1994 dalam Zulkardi 2003: 5).  Selanjutnya Marpaung (2003: 4) mengungkapkan beberapa ciri pendidikan matematika realistik adalah: (1) pembelajaran berpusat pada siswa; (2) Siswa dilatih untuk aktif berfikir dan berbuat; (3) pembelajaran dimulai dari masalah-masalah yang kontekstual atau nyata bagi siswa; (4) siswa diberi kesempatan mengembangkan strategi belajarnya dengan berinteraksi dan bernegosiasi dengan kawan atau gurunya dan guru membantunya; (5) Siswa dibimbing pada pembentukan konsep penyelesaian permasalahan; (6) menekankan proses reinvensi atau rekonstruk; (7) guru berperan sebagai fasilitator atau manejer kelas.
Menurut De Lange, 1987: Gravemeijer, 1994: Freudenthal, 1991 dalam Zulkardi, 2003: 4) tiga prinsip pendidikan matematika realistik adalah; (1) menggunakan situasi yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata terhadap kehidupan sehari-harinya; (2) situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area penerapan dalam pembelajaran matematika haruslah beranjak dari keadaan yang real terhadap siswa sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal;(3) peran pengembangan model merupakan jembatan bagi siswa dari situasi nyata ke situasi abstrak atau dari informal matematika ke matematika formal, artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Selain pemikiran di atas metode pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dipilih dalam penelitian ini karena PMRI bersesuaian dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam hal: (1) titik awal pembelajaran dengan materi kontekstual; (2) karena pendidikan matematika realistik memiliki banyak kesamaan dengan sosio konstruktivisme dalam pembelajaran; (3) Sesuai dalam tujuan, materi, metode dan evaluasi.
Hasil Relajar
Setelah seseorang mengalami kegiatan belajar maka akan mendapatkan suatu hasil belajar yang berupa suatu perubahan tingkah laku.  Perubahan-perubahan yang terjadi usai belajar dapat berupa perubahan dalam aspek pengetahuan, aspek nilai dan aspek keterampilan (Winkel, 1999).  Sedangkan menurut Sardiman (1996:23) hasil belajar meliputi: (1) hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif); (2) hal ikhwal personal, kepribadian atau sikap (afektif),dan; (3) hal ikhwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik).
Tiap-tiap proses pembelajaran akan selalu menghasilkan hasil belajar.  Cara menilai hasil pembelajaran matematika pada umumnya melalui tes hasil belajar.  Adapun tujuan diberikannya tes menurut Hudojo, (1990: 22) adalah mengukur hasil belajar siswa setelah terjadi proses pembelajaran matematika serta untuk menentukan sampai sejauh mana pemahaman materi yang telah dipelajari.
Pola Kerja dalam Pembelajaran
Pola kerja yang diterapkan dalam pembelajaran ini adalah pola kerja praktik atau eksperimen dengan alat secara individual atau kelompok dengan alat peraga praktik miniatur tandon air sehingga siswa menjadi lebih aktif dan diharapkan mereka dapat menemukan berbagai hal yang terkait dengan pembelajaran baik kognitif, psikomotorik maupun afektif.
Ukuran Keberhasilan
Ukuran keberhasilan yang diharapkan dalam pembelajaran pada penelitian ini adalah terjadi perbedaan nilai persentase jumlah siswa yang tuntas belajar atau jumlah siswa yang ikut program pengayaan dan nilai rata-rata kelas siswa antara siswa di kelas kontrol dan siswa di kelas eksperimen.  Untuk mengetahui keberhasilan siswa tuntas atau belum tuntas dalam belajar dilakukan evaluasi atau penilaian karena evaluasi diperlukan dalam mendukung efektivitas belajar siswa.  Penilaian akan efektif bila mampu menyediakan instrumen yang relevan, tepat waktu, dan bermakna bagi guru dan siswa untuk selalu meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran yang dilakukannya.  Adapun soal-soal evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran pada penelitian ini adalah soal-soal tes uraian bebas karena bentuk instrumen ini dapat dipakai untuk mengukur kompetensi siswa dalam semua tingkat ranah kognitif.
Dalam menilai hasil tes uraian bebas ini, terlebih dahulu diinformasikan kepada siswa tentang kriteria penilaian yang akan dilakukan karena bobot penilaian beberapa nomor ada yang berbeda sehingga berapa besar kemungkinan skors tertinggi untuk setiap butir soal juga diinformasikan kepada siswa.
Siswa dinyatakan berhasil atau tuntas jika mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 68 sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan dan selanjutnya siswa mengikuti program pengayaan, sedangkan bagi siswa yang mendapatkan nilai kurang dari 68 atau di bawah nilai KKM dinyatakan belum berhasil atau belum tuntas dalam pembelajaran dan diwajibkan mengikuti program remidial.  Penelitian juga dikatakan berhasil jika ketuntasan belajar klasikal mencapai 85%, artinya 85 % siswa memperoleh nilai sekurang-kurangnya 68.
METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan deskriptif kuantitatif.  Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X-3 sebagai kelas eksperimen dan semua siswa kelas X-4 sebagai kontrol di SMA Negeri 3 Kota Manna pada tahun pelajaran 2007-2008 dengan jumlah siswa masing-masing kelas sama yaitu 32 orang.  Objek penelitian ini adalah penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia melalui alat peraga praktik miniatur tandon air.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Negeri 3 kota Manna yang berjumlah 5 kelas dengan jumlah siswa 156 orang.  Adapun sampel penelitian adalah siswa kelas X-3 sebagai kelas eksperimen dan kelas X-4 sebagai kelas kontrol.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa tes.  Bentuk tes adalah uraian bebas.
Metode Pengumpulan Data
Data didapat dengan menggunakan metode tes  yang berupa tes uraian bebas.  Tes ini digunakan untuk melihat perbedaan nilai persentase jumlah siswa yang ikut program pengayaan atau siswa yang tuntas dalam pembelajaran dan nilai rata-rata kelas siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari metode tes kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan nilai ketuntasan belajar individual menurut Ketuntasan Belajar Minimal (KKM) yang telah ditetapkan dan nilai persentase ketuntasan belajar klasikal serta nilai rata-rata kelas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Alat Peraga Praktik Miniatur Tandon Air
Pembuatan miniatur tandon air ini terbagi dua tahap yaitu: (1) Pembuatan miniatur tandon air tipe I dan (2) Pembuatan miniatur tandon air tipe II. Alat dan bahan yang digunakan untuk membuat kedua tipe miniatur tandon air ini adalah sama yaitu: botol/kaleng plastik bekas minyak goreng ukuran 2 liter, selang plastik, pelubang (paku atau bor), mistar, gunting, cutter, lem atau perekat pipa PVC, air, bubuk pewarna atau gincu warna hijau dan merah, spidol permanen, ember atau stopples bekas permen.
Langkah-langkah pembuatan miniatur tandon air tipe I adalah: (1) Menyediakan sebuah botol/kaleng bekas minyak goreng ukuran 2 liter kemudian membuat sebuah lubang kira-kira 7 cm dari bagian basar botol/kaleng, (2) Selang plastik dipotong secukupnya selanjutnya ditempelkan ke botol/kaleng plastik di atas dengan diberi lem pipa PVC secukupnya dan didiamkan hingga mengering, (3) Memberi tanda pada selang itu “p” pada lokasi tertentu  dan “q” pada lokasi lain pada selang.  Bentuk miniatur tandon air tipe I tampak pada gambar A.1 berikut.
Gambar A.1. “Miniatur Tandon Air Tipe I”
Langkah-langkah pembuatan miniatur tandon air tipe II adalah: (1) Menyediakan sebuah botol/kaleng bekas minyak goreng ukuran 2 liter kemudian membuat sebuah lubang kira-kira 7 cm dari bagian basar botol/kaleng, (2) Selang plastik dipotong secukupnya dan dibentuk dua cabang selanjutnya ditempelkan ke botol/kaleng plastik di atas dengan diberi lem pipa PVC secukupnya dan didiamkan hingga mengering, (3) Memberi tanda pada selang itu “p” pada lokasi tertentu pada cabang I dan “q” pada lokasi tertentu pada cabang II.  Bentuk miniatur tandon air tipe II tampak pada gambar A. 2 berikut.
Gambar A. 2. “Miniatur Tandon Air Tipe II”
B  Prosedur Kerja Praktik Penggunaan Miniatur Tandon Air
Prosedur kerja praktik penggunaan miniatur tandon air tipe I adalah: (1) Mengisi miniatur tandon air tipe I dengan air yang telah diberi bubuk pewarna/gincu hijau secukupnya sambil menekan bagian dasar selang agar air tak mengalir keluar selang.  Selanjutnya lepaskan selang, nampak jelas terlihat air mengalir melalui selang bagian “p” dan selang bagian “q” menuju ujung selang, posisi ini menunjukkan bahwa  kedua bagian selang itu dibiarkan. Hal ini digambarkan pada gambar B. 1 berikut.
Gambar B. 1
(2) Selang bagian “p” dibiarkan, namun selang bagian “q” ditekan dengan menggunakan 2 jari sambil memperhatikan aliran air di ujung selang.  Hal ini digambarkan pada  gambar B. 2 berikut.
Gambar B. 2
(3) Selang bagian “p” ditekan dengan menggunakan 2 jari, namun selang bagian “q” dibiarkan sambil memperhatikan aliran air di ujung selang.  Hal ini digambarkan pada  gambar B. 3 berikut.
Gambar B. 3
(4) Selang bagian “p” dan “q” keduanya di tekan dengan menggunakan 2 jari   tangan kiri kanan sambil memperhatikan aliran air di ujung selang.  Hal ini digambarkan pada gambar B. 4 berikut.
Gambar B. 4
Keterangan selengkapnya prosedur kerja praktik miniatur tandon air tipe I digambarkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1: “Hasil kerja praktik pada miniatur tandon air tipe I”
No
Selang bagian “p’
Selang bagian “q”
Aliran air di ujung selang
1
2
3
4
Dibiarkan
Dibiarkan
Ditekan
Ditekan
Dibiarkan
Ditekan
Dibiarkan
Ditekan
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Prosedur kerja praktik penggunaan miniatur tandon air tipe II adalah: (1) Mengisi miniatur tandon air tipe II dengan air yang telah diberi bubuk pewarna/gincu merah secukupnya sambil menekan bagian dasar selang agar air tak mengalir keluar selang.  Selanjutnya lepaskan selang, nampak jelas terlihat air mengalir melalui selang bagian “p” dan selang bagian “q” menuju ujung selang, posisi ini menunjukkan bahwa  kedua bagian selang itu dibiarkan. Hal ini digambarkan pada gambar B. 5 berikut.
Gambar B. 5
(2) Selang bagian “p” dibiarkan, namun selang bagian “q” ditekan dengan menggunakan 2 jari sambil memperhatikan aliran air di ujung selang.  Hal ini digambarkan pada  gambar B. 6 berikut.
Gambar B.6
(3) Selang bagian “p” ditekan dengan menggunakan 2 jari, namun selang bagian “q” dibiarkan sambil memperhatikan aliran air di ujung selang.  Hal ini digambarkan pada  gambar B. 7 berikut.
Gambar B. 7
(4) Selang bagian “p” dan “q” keduanya di tekan dengan menggunakan 2 jari   tangan kiri kanan sambil memperhatikan aliran air di ujung selang.  Hal ini digambarkan pada gambar B. 8 berikut.
Gambar B. 8
Keterangan selengkapnya prosedur kerja praktik miniatur tandon air tipe II digambarkan pada tabel 2 berikut.
Tabel 2: “ Hasil kerja praktik pada miniatur tandon air tipe II”
No
Selang bagian “p’
Selang bagian “q”
Aliran air diujung selang
1
2
3
4
Dibiarkan
Dibiarkan
Ditekan
Ditekan
Dibiarkan
Ditekan
Dibiarkan
Ditekan
Ada
Ada
Ada
Tidak ada
Aplikasi Pembelajaran di Kelas
Aplikasi pembelajaran di kelas sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dibuat dan disusun seperti berikut.
  • Standar Kompetensi: Menggunakan logika matematika dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor.
  • Kompetensi Dasar: Menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan dan pernyataan berkuantor.
  • Indikator: (1) Menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan, (2) Menentukan ingkaran dari suatu pernyataan, (3) Menentukan nilai kebenaran dari pernyataan majemuk konjungsi dan ingkarannya, serta (4) Menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk disjungsi dan ingkarannya.
  • Materi Ajar: Logika Matematika yang terdiri atas: pernyataan dan nilai kebenaran, Negasi dari suatu pernyataan serta pernyataan majemuk konjungsi dan disjungsi dengan ingkarannya.
  • Tujuan Pembelajaran: (1) Siswa dapat menentukan nilai kebenaran dan ingkaran dari suatu pernyataan, (2) Siswa dapat menentukan nilai kebenaran konjungsi dan ingkarannya dan (3) Siswa dapat menentukan nilai kebenaran disjungsi dan ingkarannya.
  • Metode Pembelajaran: metode eksperimen, tanya jawab, diskusi kelompok dan penugasan.
  • Langkah-langkah pembelajaran:
  1. Pendahuluan
1)      Guru mengucapkan salam pembuka dan berdoa bersama kemudian memberi tahu kepada siswa bahawa materi pelajaran yang akan dibahas adalah materi baru yaitu logika matematika.
2)      Guru menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan Kriteria Ketuntasan Belajar minimal (KKM) yaitu sebesar 68.
3)      Guru menginformasikan bahwa pada pembelajaran logika matematika terdapat beberapa tabel kebenaran, dan yang akan dipelajari adalah konjungsi dan disjungsi.
4)      Membahas pengetahuan prasyarat berupa ungkapan dalam bentuk kalimat terbuka, berupa 4 + x = 9, untuk x anggota bilangan asli dan berupa kalimat yakni “Kota Manna adalah kota yang bersih, indah dan nyaman”. Kalimat terbuka 4 + x = 9, bila x diganti dengan 5 maka akan berubah menjadi suatu pernyataan yang bernilai benar dan bila x diganti dengan 3 maka akan berubah menjadi pernyataan yang bernilai salah.  Kalimat “ Kota Manna adalah kota yang bersih, indah dan nyaman” belum menjadi suatu pernyataan karena masih harus kita selidiki kebenarannya.
5)      Guru mengumumkan nama-nama anggota kelompok dan ketuanya untuk kegiatan diskusi kelompok.
  1. Pengembangan
1)      Guru membimbing siswa untuk mengkonstruksi kembali tentang suatu pernyataan atau ungkapan dalam matematika hanya mempunyai nilai kebenaran tunggal yaitu benar saja atau salah saja dan tidak kedua-duanya.
2)      Negasi atau ingkaran dari suatu pernyataan yang bernilai benar (B) adalah salah (S) demikian pula sebaliknya bahwa ingkaran dari suatu pernyataan yang bernilai salah (S) adalah benar (B).  Jika diketahui bahwa “p” adalah suatu pernyataan maka ingkarannya adalah “-p” sehingga jika  “p” benar maka “-p” adalah salah demikian pula sebaliknya jika “-p” bernilai benar maka “p” akan bernilai salah.
3)      Guru menjelaskan kepada siswa bahwa pada pertemuan hari ini akan dilakukan eksperimen yang berkaitan erat dengan materi pelajaran yang akan dibahas.  Guru mengajak siswa untuk memperhatikan alat peraga miniatur tandon air tipe I dan tipe II yang telah dipersiapkan.  Kemudian guru meminta siswa untuk memperagakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan yang termaktub dalam lembar kegiatan siswa yang telah dicatat di papan tulis sementara itu beberapa siswa lainnya memperhatikan dan mencatat apa saja yang terjadi pada peragaan itu.  Adapun lembar kerja siswa itu adalah seperti berikut.
P
q
ada tidaknya aliran air
Miniatur tandon
Air tipe I
Miniatur tandon
Air tipe II
Dibiarkan Dibiarkan
Ditekan
Ditekan
Dibiarkan Ditekan
Dibiarkan
Ditekan
………………. ……………….
……………….
……………….
………………. ……………….
……………….
……………….
Ternyata pada hasil peragaan itu terlihat pada tabel berikut.
P
q
ada tidaknya aliran air
Miniatur tandon
Air tipe I
Miniatur tandon
Air tipe II
Dibiarkan Dibiarkan
Ditekan
Ditekan
Dibiarkan Ditekan
Dibiarkan
Ditekan
Ada Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada Ada
Ada
Tidak ada
4)      Guru memberikan permasalahan kontekstual sebagai pendekatan informal untuk peristiwa konjungsi dan disjungsi dan meminta siswa untuk mendikusikannya bersama kelompok belajarnya masing-masing seperti berikut.
Syarat transaksi jual beli
Kegiatan transaksi jual beli
Dapat terjadi
p=ada penjualq=ada pembeli
p dan q
Ada Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada Tidak ada
Ada
Tidak ada
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
Dan
Janji memberi hadiah
Buku atau alat tulis
Janji terpenuhi
p=dihadiahi bukuq=dihadiahi alat tulis
p atau q
Ada Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada Tidak ada
Ada
Tidak ada
………………………..
………………………..
………………………..
………………………..
Hasil diskusi siswa selengkapnya sebagai berikut:
Syarat transaksi jual beli
Kegiatan transaksi jual beli
Dapat terjadi
p=ada penjualq=ada pembeli
p dan q
Ada Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Janji memberi hadiah
Buku atau alat tulis
Janji terpenuhi
p=dihadiahi bukuq=dihadiahi alat tulis
p atau q
Ada Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ya
Ya
Ya
Tidak
5)      Guru membawa siswa ke proses pematematikaan formal dengan  mengarahkan alur berfikir siswa,  bahwa kedua tabel di atas bersesuaian dengan logika matematika, selanjutnya guru menekankan bahwa operasi biner  adalah lambang konjungsi untuk “dan” sedangkan operasi biner  adalah lambang disjungsi untuk “atau” sehingga dapat ditulis tabel kebenaran konjungsi seperti berikut.
p
q
Benar
Benar
Salah
Salah
Benar
Salah
Benar
Salah
Benar
Salah
Salah
Salah
Dan tabel kebenaran disjungsi seperti berikut.
p
q
Benar
Benar
Salah
Salah
Benar
Salah
Benar
Salah
Benar
Benar
Benar
Salah
  1. Penerapan
Agar siswa dengan kerja samanya dapat terlatih menggunakan tabel kebenaran konjungsi dan disjungsi untuk membuktikan pernyataan-pernyataan majemuk yang ekivalen maka dengan metode diskusi kelompok guru meminta siswa mengerjakan soal-soal seperti berikut.
  1. Kapankah konjungsi bernilai benar?
  2. Kapankah disjungsi bernilai salah?
  3. Buktikanlah dengan tabel kebenaran:
    1. Gambarlah menurut pendapatmu alat miniatur tandon air yang berhubungan dengan logika matematika seperti berikut:
Jawaban yang diharapkan adalah seperti berikut.
1)      Konjungsi hanya bernilai benar jika “p” dan “q” keduanya benar.
2)      Disjungsi hanya bernilai salah jika “p” dan “q” keduanya salah.
3)      a. terbukti.     b.tidak terbukti      c.tidak terbukti      d.terbukti.
4)      dapat digambarkan seperti berikut.
  1. Penutup
Pembelajaran ditutup dengan membuat rangkuman tentang tabel kebenaran konjungsi dan disjungsi, kemudian guru menginformasikan kepada siswa bahwa pada pembelajaran logika matematika berikutnya adalah pernyataan majemuk implikasi, bi-implikasi dan penarikan kesimpulan.  Selanjutnya guru memberikan pekerjaan rumah (PR) seperti berikut.
A. Tentukan ingkaran dari:
  1. Manna adalah kota sekundang setungguan dan ibukota kabupaten Bengkulu Selatan.
  2. Lulus tes pegawai negeri dan memperoleh surat keputusan untuk bekerja.
  3. Belajar kelompok bersama teman atau mengikuti bimbingan belajar.
  4. 19 adalah bukan bilangan ganjil atau bukan bilangan prima.
  5. Gambarlah menurut pendapatmu alat miniatur tandon air yang berhubungan dengan logika matematika seperti berikut.
Jawaban permasalahan A yang diharapkan adalah seperti berikut.
  1. Manna bukan kota sekundang setungguan atau bukan ibukota kabupaten Bengkulu Selatan.
  2. Tidak lulus tes pegawai negeri atau tidak memperolehsurat keputusan untuk bekerja.
  3. Tidak belajar kelompok bersama teman dan tidak mengikuti bimbingan belajar.
  4. 19 adalah bilangan ganjil dan bilangan prima.
Jawaban permasalahan B yang diharapkan adalah sebagai berikut.

Penilaian Hasil Belajar
Sebagai evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar, maka dilakukan penilaian hasil belajar siswa berupa tes uraian.  Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Hasil Belajar Siswa
Pada Kelas Eksperimen:
Hasil belajar siswa pada kelas eksperimen yakni di kelas X-3 adalah:
1)      Siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 28 orang.
2)      Nilai rata-rata kelas adalah 75,3.
3)      Nilai ketuntasan belajar klasikal 87,5%.
Jika dihubungkan dengan indikator keberhasilan maka angka 87,5% berarti ketuntasan belajar secara klasikal telah tercapai karena sebanyak 87,5 % siswa yang mencapai nilai KKM 68.
Pada Kelas Kontrol:
Hasil belajar siswa pada kelas kontrol yakni di kelas X-4 adalah:
1)      Siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 20 orang.
2)      Nilai rata-rata kelas adalah 64,8.
3)      Nilai ketuntasan belajar klasikal 62,5%.
Jika dihubungkan dengan indikator keberhasilan maka angka 62,5% berarti ketuntasan belajar secara klasikal tidak tercapai karena sebanyak 62,5 % siswa yang mencapai nilai KKM 68.
Pembahasan Penelitian
Pada Kelas Eksperimen hasil belajar siswa di kelas X-3 adalah: siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 28 orang, nilai rata-rata kelas adalah 75,3 dan nilai ketuntasan belajar klasikal 87,5% berarti telah melampaui syarat minimal ketuntasan belajar dalam penelitian ini yaitu 85%, dan telah terjadi perbedaan dengan Kelas kontrol yakni siswa di kelas X-4 yaitu: siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 20 orang, nilai rata-rata kelas adalah 64,8 dan nilai ketuntasan belajar klasikal 62,5%.
Perbedaan secara lengkap antara kelas kontrol dan kelas eksperimen di sajikan dalam tabel 3 berikut.
Tabel 3: “Perbedaan hasil belajar antara Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen”
No
Ukuran Keberhasilan
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
1
2
3
Ketuntasan belajar individual Ketuntasan belajar klasikal(%)
Rata-rata Kelas
20
62,5
64,8
28
87,5
75,3
Bila divisualisasikan dalam bentuk grafik maka tampak perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dalam gambar 3 seperti berikut.
Gambar 3: “ Perbedaan Hasil Belajar Antara Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen”.


PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapatlah disimpulkan bahwa penerapan Pendidikan Matematika Matematika Realistik Indonesia melalui penggunaan alat peraga praktik  miniatur tandon air tipe I dan tipe II terhadap hasil belajar siswa memperoleh hasil belajar: (1) Siswa yang tuntas belajar secara individual sebanyak 28 orang, (2) Nilai rata-rata kelas adalah 75,3, dan (3) Nilai ketuntasan belajar klasikal 87,5% serta telah melampaui syarat minimal ketuntasan belajar dalam penelitian ini yaitu 85%.  Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan guru dalam merancang alat peraga dan melaksanakan pembelajaran dengan penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia melalui penggunaan alat peraga praktik miniatur tandon air tipe I maupun tipe II membawa dampak yang positif terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia melalui penggunaan alat peraga praktik miniatur tandon air  pada pembelajaran logika matematika terbukti lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan media charta rangkaian listrik seri dan paralel dalam meningkatkan proses dan hasil pembelajaran siswa sehingga meningkatkan mutu pembelajaran matematika.

Saran

1.  Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengembangan penerapan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia melalui penggunaan alat peraga praktik miniatur tandon air secara lebih lengkap, lebih dalam dan lebih sempurna untuk mengantisipasi gejala melemahnya atau menurunnya motivasi dan hasil belajar siswa.
2. Diperlukan daya kreativitas guru untuk dapat merancang dan membuat alat peraga praktik yang sederhana untuk merealisasikan atau memvisualisasikan secara nyata suatu konsep materi pelajaran matematika yang tergolong abstrak karena masih sedikit dan terbatasnya atau belum adanya alat peraga matematika di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Kontak 081333052032


Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah

Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah


Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika tentang Pemantapan Konsep dan Pemecahan Masalah Pembelajaran Geometri pada Pendidikan Dasar).

Oleh Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya.


Geometri merupakan bagian Matematika yang membicarakan titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).

Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.” Akibatnya, pengajaran Geometri di sekolah memerlukan kompetensi dan semangat guru yang memadai.

Siswa Belajar dengan Ilusi
Seperti diketahui bersama, permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk pengajaran Matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedikitnya ada empat faktor penyebab kesulitan. Pertama, krusialitas muatan kurikulum (stndar isi). Dalam konteks ini banyak materi Matematika di SMP memiliki tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (sebagai contoh stnadar isi tentang “Kesebangunan Segitiga”, “Eksponen”, “Lingkaran”, dan “Barisan dan Deret”). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Sejak SD, siswa telah memperoleh banyak rumus, setelah di SMP mereka kembali menerima berbagai macam rumus, yang jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya, untuk mengingat rumus yang demikian banyak itu, merupakan beban tersendiri bagi siswa. Apalagi kalau guru hanya menyodorkan rumus “siap pakai” kepada siswa, maka siswa tidak pernah tahu cara menurunkan rumus tersebut. Akhirnya generasi penerus bangsa ini hanya bersifat menghafal. Ketiga, keterbatasan fasilitas; sampai saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Seperti diketahui bersama, belakangan ini pemerintah nyaris tidak lagi memasok alat peraga matematika ke sekolah. Kalau guru pasif dan hanya bersifat menunggu, maka dapat dipastikan sekolah tidak memiliki alat-alat pendukung pembelajaran matematika.  Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal-soal berbentuk ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended. Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala tentang kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.

Khusus dalam pengajaran bidang Geometri, beradasarkan pengalaman langsung di lapangan, yang tampak paling dominan sebagai penyebab kesulitan adalah keterbatasan alat pendukung pembelajaran. Dengan kata lain, permasalahan pengajaran Geometri muncul ketika banyak guru tidak sempat atau memandang tidak perlu, serta tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri yang abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa berupaya membuat alat sendiri. Apalagi tidak pernah terpikir olehnya untuk menugasi siswa membuat model yang dapat mempermudah mereka memahami konsep-konsep Geometri.

Sejalan dengan sikap ”tunggu bola” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita tentang diagonal ruang dan bidang diagonal dalam pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda nyata yang dapat dijadikan model.

Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi ilusionis. Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan pesulap legendaris Dedy Corbuzer maupun ilusionis atraktif seperti Demian, yang dalam kiprahnya menghasilkan banyak uang. Kalau pembelajaran di sekolah terus berwujud ”dunia khayalan”, dapat dibayangkan betapa banyaknya ilusionis tanpa penonton yang akan memenuhi negeri ini, sementara tugas besar pembangunan yang menghadang di depan mata tidak tergarap. Keadaan ini dapat dikatakan fase ”Full illusion and no action”, yang ditakuti setiap negara.

Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.

Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai belajar tentang konsep Geometri dengan melakukan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya..  Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).

Lebih jauh Meier menegaskan bahwa belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

Aneka “Aksi” yang Dapat Diangkat
Aksi (action) apa yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya dapat dibedakan menjadi tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses berpikir tentang konsep. Kedua, kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau membuktikan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.

1. Membuat sketsa atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam Murtanto, 2002)  menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:

Saya membuat gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).

Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang memecahkan persoalan matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).

Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar dalam belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan sketsa atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep pelajaran yang abstrak sangatlah penting.

Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abstrak sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih dapat digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat hendaknya jangan sampai menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:

Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).

2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric lines.”

Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya dapat dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:

Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).

Untuk suatu pembuktian tentang kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan bantuan benda-benda konkret yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam membuktikan bahwa volum kerucut adalah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari alas dan tinggi kedua bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.

3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu karya tertentu, siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.

Ambil contoh, siswa yang baru saja belajar jaring-jaring kubus dan balok kemudian memiliki gagasan untuk menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil ciptaan anak bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak paten, tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat adalah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang berhubungan dengan alat peraga atau alat praktik yang mampu memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.

Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya aksi yang tidak pas.

Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan ”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran.  Seperti yang telah disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:



Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akibat kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya,  kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangun dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok dari suatu formula.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmani (Penerjemah). 2002. The Accelerated Learning (Dave Meier).
Bandung: Mizan Media Utama.
Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Murtanto, Yudhi. 2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan Multiple Intellegences di
Dunia Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Oka Yadnya, I Gusti Agung. 2006. Penerapan Model Pembelajaran “Sipitu Berbasis
Gambar” untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika
(Geometri) Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja (Laporan Penelitian
Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.
Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals of Mathematics. Seventh Edition. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Penulis:
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya
Guru di SMP Negeri 1 Singaraja

Problematik Pembelajaran Geometri:
Antara ”Action” dan ”Illusion*)
Oleh
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya**)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geometri merupakan bagian dari Matematika yang membicarakan hal-hal yang menyangkut titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).
Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.”
Masalah pembelajaran Geometri pada jenjang Pendidikan Dasar muncul ketika banyak guru tidak sempat, memandang tidak perlu, atau tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri yang abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa upaya untuk membuat alat sendiri atau tidak menugasi siswa untuk membuat model yang dapat mempermudah pemahaman konsep.
Sejalan dengan sikap ”cuek” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita tentang adanya diagonal ruang dan bidang diagonal dalam pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda nyata yang dapat dijadikan model.
Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi ilusionis.   Keadaan ini dapat dikatakan fase ”No action and Full Illusion”.
B. Pembatasan Masalah
Permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan pengalaman nyata, sedikitnya ada empat faktor penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran Geometri di tingkat pendidikan dasar, khususnya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat. Pertama, muatan kurikulum. Dalam konteks ini banyak materi Geometri di SMP memiliki tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (beberapa contoh materi krusial disajikan pada lampiran 1). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Ketiga, keterbatasan fasilitas; sampai saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended.

Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala tentang kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.

II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran Geometri
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.

Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai belajar tentang konsep Geometri dengan melakukan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya..  Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).

Lebih jauh Meier menegaskan bahwa belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

B. Jenis “Aksi” dalam Pembelajaran Geometri
Aksi (action) apa yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya dapat dibedakan menjadi tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses berpikir tentang konsep. Kedua, kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau membuktikan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.
1. Membuat sketsa atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam Murtanto, 2002)  menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:
Saya membuat gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).
Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang memecahkan persoalan matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).
Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar dalam belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan sketsa atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep pelajaran yang abstrak sangatlah penting.
Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abstrak sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih dapat digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat hendaknya jangan sampai menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:
Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).
2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric lines.”
Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya dapat dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).
Untuk suatu pembuktian tentang kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan bantuan benda-benda konkret yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam membuktikan bahwa volum kerucut adalah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari alas dan tinggi kedua bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.
3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu karya tertentu, siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.
Ambil contoh, siswa yang baru saja belajar jaring-jaring kubus dan balok kemudian memiliki gagasan untuk menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil ciptaan anak bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak paten, tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat adalah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).
Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang berhubungan dengan alat peraga atau alat praktik yang mampu memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.
Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya aksi yang tidak pas.
Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan ”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran.  Seperti yang telah disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:



Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akibat kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya,  kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangun dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok dari suatu formula.
B. “Sipitu” sebagai Sebuah Model Pembelajaran
Rendahnya prestasi belajar Matematika siswa, khususnya menyangkut pokok-pokok bahasan Geometri, telah memotivasi penulis melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Kelemahan mendasar yang dapat ditemukan pada siswa yang menjadi tanggung jawab penulis antara lain kelemahan siswa dalam mengingat rumus-rumus Geometri yang demikian banyaknya. Sebagian besar siswa hanya bersifat ”menghafal” rumus dan tidak memahami bagaimana asal mula terbentuknya rumus tersebut. Akibatnya mereka cepat lupa, karena kekuatan mengingat manusia sangat terbatas, seperti yang dikemukakan Negoro dan B. Harahap (1984) bahwa baik siswa, guru, bahkan profesor pun tidak dapat mengingat semua rumus yang pernah dipelajarinya.
Bertolak dari fenomena itu, pada semester genap tahun ajaran 2005/2006 penulis mencoba mengajak siswa untuk berpikir bahwa rumus bukanlah satu-satunya cara untuk menghitung. Rumus yang banyak jumlahnya itu tidak perlu dianggap sebagai beban yang harus dihafalkan semuanya. Selanjutnya penulis terapkan model pembelajaran ”Sipitu”, yang merupakan singkatan dari aksi-pikir-tulis. Artinya, model pembelajaran ini menekankan pada tiga hal penting, yaitu: kerja praktik (aksi), memikirkan konsep atau rumus yang diperoleh dari kerja praktik (pikir), dan menyusun serta menulis konsep atau rumus tersebut (tulis). Adapun hasilnya cukup positif, selain motivasi belajar siswa meningkat, kelompok siswa yang sebelumnya memiliki nilai ulangan Geometri rata-rata di bawah 6,5, setelah dilakukan inovasi pembelajaran menjadi di atas 7,0. Hasil penelitian ini, secara ringkas disajikan pada lampiran 2.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak. Jika objek yang abstrak ini disajikan oleh guru hanya dalam bentuk wacana belaka, maka siswa akan mempelajari Geometri secara khayalan. Mereka berhalusinasi dalam memikirkan konsep yang abstrak tanpa pernah diketahui padanannya dengan benda nyata yang dapat ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.
Untuk mengantisipasi hal itu, guru perlu melakukan inovasi pembelajaran dengan melibatkan siswa secara langsung dalam kegiatan kerja praktik. Atau setidaknya, pada waktu guru membicarakan objek Geometri, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konhret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya.
Satu penawaran tentang model pembelajaran yang telah terbukti memberikan hasil positif di SMP Negeri 1 Singaraja adalah “Model Pembelajaran Sipitu”. Model pembelajaran ini telah diujicobakan beberapa kali dan ternyata berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa.
B. Saran-saran
Seiring dengan simpulan tersebut di atas, dalam kesempatan ini dikemukakan beberapa saran, yaitu:
  1. Kepada guru Matematika diharapkan segera melakukan pembaharuan pembelajaran, terutama untuk pokok-pokok bahasan Geometri, mengingat materi ini relatif sulit bagi siswa pada umumnya.
  2. Kepada kepala sekolah diharapkan senantiasa mendukung upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bnetuk moril maupun material sesuai dengan kemampuan lembaga yang dipimpinnya.
  3. Kepada pihak-pihak terkait, yang berkompeten dalam bidang pendidikan, seperti Dinas Pendidikan dan jajarannya, diharapkan menyediakan anggaran bagi guru untuk melakukan kegiatan inovasi pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang Pendidikan Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Kontak 081333052032



Sumber: http://www.infodiknas.com